Kamis, 03 Desember 2015
Sejarah Keberadaan Habaib Di Banjarmasin
19.50
| Diposting oleh
SaggafF
|
Sumber
dari catatan keluarga Aidid menyebutkan, bahwa moyang mereka yang
bernama Sayid Jalaluddin Aidid --keturunan dari Sayid Muhammad Maula
Aidid (Muhammad bib Ali Shahib Al-Hauthoh/1334-1442 M)-- dari Aceh
pernah datang ke Banjar (Kalimantan Selatan) pada penghujung abad ke-16.
Sayid Jalaluddin adalah anak Sayid Muhammad Wahid (Aceh) dan Syarifah
Halisyah. Jalaluddin beristri Tamami putri Sultan Abdul Kadir Alaudin di
Banjar (di kerajaan Pagatan?). Istri Jalaluddin adalah kerabat kerajaan
Gowa Tallo. Karena mempunyai istri yang berasal dari keluarga kerajaan
tersebut, Jalaluddin datang ke Gowa Tallo. Sayang, di sana ulama keramat
yang merupakan keturunan ke-27 dari Rasulullah ini kurang dipedulikan.
Jalaludin kemudian pindah ke Cikoang (Kecamatan Marbo, Kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan, yang kini menjadi basis keluarga Aidid di
Makassar). Selain itu, ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa,
para Wali Sanga (pada zaman kerajaan Demak), dipercaya datang dari Arab
ke Nusantara untuk keperluan dakwah menyebarkan Islam. Leluhur Wali
Sanga adalah Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath yang
hijrah dari Hadramaut ke India. Buyut Abdul Malik bernama Jamaludin
Husin adalah datuk dari Syarif Hidayatullah (Sunang Gunung Jati di
Cirebon). Garis silsilah para wali lainnya seperti Maulana Malik Ibrahim
(Gresik), Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat dan Sunan
Bonang tersambung ke nama Jamaludin Husin. Sedangkan buyut Abdul Malik
lainnya (saudara Jamaludin Husin) yang bernama Ali Nurudin merupakan
leluhur Sunan Kalijga dan Sunan Muria. Jauh sebelum Belanda datang
pertama kali ke Nusantara (1596), sudah ada orang Arab yang datang dari
Hadramaut ke Jawa termasuk ke Jakarta seperti kelompok Alaydrus dan
kelompok Al-Bafaqih, berada di kampung Jawa (sekarang berada dalam
kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung). Lihat RB Serjeant, The Saiyids
of Haadramawt, School of Oriental and African Studies, University of
London, 1957, hal 25). Kapan persisnya periode waktu kedatangan mereka
ke Nusantara, tiada keterangan yang cukup jelas. Beberapa penulis
sejarah Islam di Indonesia menyatakan para pedagang Arab kemungkinan
pernah menyinggahi Pelabuhan Sunda Kelapa yang berada dalam kekuasaan
Kerajaan Pajajaran. Di masanya, Sunda Kelapa merupakan jalur sutra yang
dikunjungi pedagang pelbagai penjuru (Lihat M. Dien Majid, Awal
Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII dalam
Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, kumpulan makalah, 1995).
Keterangan lain menyebutkan, kedatangan orang Arab di Indonesia makin
jelas setelah agama Islam lahir (abad VII M). Pada masa ini mereka
sedang mengemban dua tugas yaitu berniaga dan menyiarkan agama Islam.
(Lihat Ismail Yacob, Sejarah Islam di Indonesia, tanpa tahun, hal
14-15). Orang Arab dikenal sebagai orang yang suka berpetualang
menjelajahi sepanjang lautan sebelum dan sesudah berkembangnya Islam.
(lihat Sayid Alwi bin Tahir Al-Haddad, Sejarah Perkembangan Islam di
Timur Jauh, terjemah Dzija Shahab, Almaktab-AlDaimi, 1957, hal 15).
Lihat pula buku kisah perjalanan ke dunia timur Al-Mas’udi,
Murujuzzahab. Salah satu tokoh Sayid yang sangat popular adalah Sayid
Hamid bin Sayid Abbas. Ia dari keluarga Bahasyim. Habib Basirih,
demikian masyarakat menyebut sosok Sayid Hamid bin Abbas, merupakan
sosok kharismatik yang tetap ramai diziarahi masyarakat --baik sewaktu
ia masih hidup maupun setelah ia meninggal dunia. Keluarbiasaan jalan
hidup Habib Basirih "berumah di atas pohon kelapa" menjadi cerita
sambung menyambung di tengah masyarakat. Leluhur Sayid Hamid bin Sayid
Abas yang bernama Sayid Awad diyakini sebagai Bahasyim "pertama" (paling
tua) di bumi Kalimantan (Banjar). Sayid Awad bin Sayid Umar mempunyai
seorang saudara lelaki yang menetap dan menurunkan Bahasyim di Bima,
NTB. Menurut cerita, Awad masuk ke Banjar dari Sampit, (salah satu
kabupaten di Kalteng). Buyut Sayid Awad adalah Sayid Abbas (ayah Habib
Basirih) yang dikenal sebagai orang kaya yang memiliki tanah luas dan
kapal dagang. Jejak Alaydrus dikenal dari Pangeran Syarif Ali yang
mendirikan kerajaan kecil di Angsana-Sebamban (Kabupaten Tanah Bumbu,
Kalsel). Satu keterangan dari pihak keluarga, menyebut bahwa Pangeran
Syarif Ali sezaman dengan Pangeran Diponegoro. Jika Diponegoro berjuang
di Jawa, Pangeran Syarif Ali berjuang di pedalaman Kalimantan. Pangeran
Syarif Ali bin Sayid Abdurrahman adalah cucu Sultan Kubu Syarif Idrus
bin Abdurrahman. Syarif Idrus Sultan Kubu (w. 1795 M) adalah paman dari
Sayid Besar Abdurrahman Panotogomo yang mengabdi di Kraton Yogyakarta
pada zaman Hamengku Bowono I (1755-1792). Sayid Ali, ayah Sayid
Abdurrahman Panotogomo, adalah saudara Syarif Idrus Sultan Kubu. Dari
keluarga Ba’bud tercatat nama Sayid Ahmad bin Sayid Abdurrahman (wafat
1884 M) yang juga menjadi menantu Sultan Adam lewat perkawinanannya
dengan Putri Qamarul Zaman. Sayid Ahmad datang dari Pekalongan dan
bekerja di kerajaan Banjar sebagai guru agama. Ia mengajar mengaji para
pangeran dan kerbat dalam istana lainnya, di samping sebagai penasihat
pribadi sultan. Dari perkawinan tersebut Sayid Ahmad memiliki 3 putra
yakni Sayid Muksin, Sayid Abdullah dan Sayid Muhammad. Seorang dari
keluarga Assegaf bernama Sayid Alwi bin Sayid Abdillah bin Sayid Saleh
bin Sayid Abubakar (w.1842) dilaporkan melalui perjalanan panjang dari
Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik sebelum menyinggahi Banjarmasin dan
sempat bermukim di Kampung Sungai Mesa. Sayid Alwi kemudian menetap di
Martapura (Kampung Melayu) dan mendapat hadiah tanah dari Sultan Adam di
daerah Karang Putih. Kelak ia dan anak cucunya bermakam di tanah
pemberian sultan tersebut (makam Karang Putih Jl Menteri Empat
Martapura). Sayid Iderus bin Hasan AlHabsyi, Pangeran Syarif Husin bin
Sayid Muhammad Baharun dan empat keluarga AlHabsyi (Muhammad, Abdullah,
Syekh dan Hasan) sebenarnya bukan pendatang yang pertama di tanah
Banjar. Menengok kebelakang, keluarga Ba’bud, Assegaf, Alaydrus dan
Bahasyim tercatat lebih dulu menjejakkan kakinya di pulau Kalimantan
bagian tenggara ini. Sayid Muhammad mempunyai tiga saudara yakni Sayid
Abdullah, Sayid Syekh dan Sayid Hasan-6. Putra Sayid Abdullah yang
bernama Sayid Alwi menjadi Kapten Arab kedua menggantikan Sayid Hasan
bin Iderus AlHabsyi. Tak lama memegang jabatan itu, Sayid Alwi bin Sayid
Abdullah AlHabsyi belakangan pindah mukim ke Barabai, karena menikah
dengan perempuan campuran Nagara-Banua Kupang bernama H. Masrah. Sayid
Hasan, tinggal di Martapura dan mempunyai putra bernama Sayid Ali
(Martapura). Sementara Sayid Syekh mempunyai putri bernama Syarifah
Fetum yang kemudian kawin dengan Sayid Ahmad Pal 1. Jejak-jejak Sayid di
Tanah Banjar pernah semarak dengan kedatangan keluarga Sayid Muhammad
bin Sayid Alwi AlHabsyi langsung dari Hadramaut, sekitar permulaan abad
ke-20. Sayid Muhammad mempunyai 7 putra. Sayid Husin, putra sulung,
pernah singgah ke Banjar tapi kemudian balik lagi ke Hadramaut. Abdillah
putra kedua mendarat di Aceh dan selanjutnya bermukim hingga akhir
hayat di negeri serambi Mekkah itu. Putra Sayid Muhammad lainnya Sayid
Ahmad berdiam di Pal 1 (Jl. A. Yani Km 1), Sayid Zen dari Banjarmasin
kemudian memilih bertempat tinggal di Martapura (40 km dari ibukota
Banjarmasin), Sayid Ali menetap di Lawang (daerah perbatasan
Malang-Pasuruan), Sayid Salim (tinngal di sekitar Pasar Rambai, kampung
Telawang Banjarmasin), serta Umar juga di wilayah Pal 1. Sayid Muhammad
bin Sayid Alwi yang sudah sepuh suatu ketika menengok putra-putranya ke
Banjarmasin. Karena sakit tua, ia akhirnya berpulang ke rahmatullah di
salah satu kediaman putranya di Banjamasin dan dimakamkan di Turbah
(pemakaman orang Arab) Kampung Sungai Jingah. Sayid Iderus AlHabsyi
adalah orang Arab kelahiran Hadramaut yang masuk ke Banjarmasin melalui
Sambas-4. Di sana, Sayid Iderus berhasil menyunting seorang perempuan
bernama Nur-5, kerabat kesultanan Sambas dan mengajaknya pindah ke
Banjarmasin. Dari pernikahan mereka lahir Sayid Hasan, yang kelak
menjadi kapten Arab pertama. Sedang Pangeran Syarif Husin, menurut
catatan Belanda, adalah pendatang dari keturunan Arab di Pekalongan,
yang juga menantu Sultan Adam (raja Banjar periode 1825-1857). Ia
menikah dengan salah satu putri Sultan Adam yang bernama Ratu Aminah.
Pada Tahun 143 tahun silam seorang anggota keluarga AlHabsyi dan seorang
keluarga Baharun tercatat dalam sejarah menjadi orang-orang penting di
Dewan Pengadilan/Kehakiman-1 di Banjarmasin. Mereka adalah wakil
komunitas Arab yang terpilih duduk dalam lembaga pemerintahan pusat
bentukan penguasa Belanda, pasca penghapusan kerajaan Banjar tahun 1860.
Saat itu, Sayid Iderus bin Hasan AlHabsyi-2 dan Pangeran Sjarif Husin
bin Muhammad Baharun-3 merupakan dua tokoh terkemuka dari kalangan warga
masyarakat keturunan Arab.Salah satu putranya yang bernama Sayid
Jamaluddin Aidid balik ke Banjar. Anak cucu keturunan Aidid hingga kini
tersebar di Makassar, Banjarmasin, Sungai Danau (Tanah Bumbu), Jakarta
(di Tebet) dan Johor (Malaysia). Keberadaan keluarga Aidid di Kabupaten
Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan bukan sesuatu yang mustahil dari sisi
lalu lintas laut. Sebab, Tanah Bumbu, yang merupakan kabupaten baru
hasil pemekaran dari Kabupaten Kotabaru, terletak di pesisir pantai
selatan provinsi Kalsel dan berbatasan dengan Laut Sulawesi. Sebagian
penduduk Kotabaru selain terdiri dari suku Banjar juga berasal dari
pendatang asal Suku Bugis Makassar.
Sebuah nama
yang disebut terlibat dalam Perang Banjar bersama-sama Pangeran
Antasari, P Hidayatullah, Demang Leman dan H Buyasin adakah Said Sambas.
Said (Sayid?) Sambas ketika meletus Perang Banjar merupakan salah satu
pimpinan penyerangan terhadap benteng Pengaron, dan bergerilya di
wilayah Riam Kanan, Riam Kiwa, Martapura dan Rantau. Tidak diperoleh
keterangan jelas tentang siapa sesungguhnya sosok ini. Identikkah ia
dengan Sayid Iderus bin Hassan bin Agil AlHabsyi yang menurut keterangan
juga datang dari Sambas bersama seorang Arab bernama Nasar bin Yusuf
Ganam ? Ataukah Said Sambas ini merupakan pribadi dan sosok berbeda?
Satu
sosok bernama Sayid Zen yang mengawini cucu Sultan Sulaiman juga belum
diketahui asal usulnya. Sayid diperkirakan lahir awal 1800-an. Syarif
Umar putra hasil perkawinan mereka gugur dalam pertempuran melawan
Belanda di Paringin (kini Kabupaten Balangan, Kalsel) tahun 1860. Syarif
Umar mempunyai seorang putra bernama Syarif Abubakar. Syarif Abubakar
dan putrinya Syarifah Intan (4 tahun) ikut dalam rombongan Pangeran
Hidayatullah yang diasingkan Belanda Cianjur, 3 Maret 1862.
Jejak
jejak Sayid di wilayah Hulu Sungai dapat ditemui di sebuah tempat
bernama Lorong Said Alwi di Kota Barabai. Alwi Kapten Arab kerap menaiki
kereta kuda dari Barabai ke Pantai Hambawang. Di sana ia turun,
beristirahat dan kemudian berganti kuda dengan penduduk setempat untuk
menuju sebuah pangkalan perahu menjemput kerabat-kerabatnya sejumlah
Habib asal Nagara. Sayid Alwi berjasa mengembangkan penanaman karet di
wilayah Hulu Sungai. Sewaktu Soekarno ke Barabai ia berjumpa dengan
tokoh ini.
Sebelum kedatangan Sayid Alwi di
Barabai, lebih dulu bermukim di wilayah Hulu Sungai ini seorang bernama
Habib Muhdhor bin Salim bin Agil bin Ahmad BSA (Keramat Manjang).
Muhdhor datang langsung dari Tarim (Hadramaut) ke Barabai. Pada suatu
ketika Habib Muhdhor berkunjung ke Martapurta menemui kerabatnya Habib
Abubakar AlHabsyi. Mereka sama-sama berasal dari Tarim. Oleh Habib
Abubakar, Habib Muhdhor akhirnya diambil sebagai menantu.
Muhdhor
kawin dengan Syarifah Noor binti Sayid Abubakar bin Sayid Husin bin
Sayid Ahmad bin Sayid Abdullah bin Sayid Ali AlHabsyi. Ayah Abubakar
yang bernama Sayid Husin AlHabsyi semula tinggal di Ma’la (Mekah) pindah
ke Tarim. Dari Tarim Habib Abubakar datang ke Martapura dan kemudian
menikah dengan Syarifah Muzenah binti Sayid Alwi bin Sayid Abdillah
Assegaf (Kampung Melayu, Martapura). Sayid Alwi Assegaf, yang merupakan
mertua Habib Abubakar AlHabsyi, menurut catatan yang diperoleh penulis
merupakan salah satu pendatang Hadramaut paling awal datang ke
Martapura.
Sayid Ali putra Sayid Alwi memiliki
cerita khusus tentang perkawinannya. Adalah seorang perempuan Bugis yang
asalnya merupakan pelarian dari kerajaan Bone tinggal di Kampung Bugis
di Banjarmasin. Perempuan yang tidak diketahui namanya ini kawin dengan
seorang lelaki bernama Dapat (Sudapat). Dapat berasal dari Kampung
Kalampayan yang masih terhitiung cucu dari Datu Kalampayan Syekh
Muhammad Arsyad. Perkawinan Dapat dengan perempuan Bugis melahirkan
perempuan bernama Ratubah. Ratubah dipelihara oleh keluarga Arab dari
marga Alkatiri di Kampong Arab Banjarmasin (sekarang Jalan Antasan Kecil
Barat). Suatu ketika Sayid Ali bin Sayid Alwi Assegaf dari Kampung
Melayu Martapura mampir ke rumah keluarga Alkatiri tersebut. Saat
bersamaan, di rumah keluarga Arab itu, Ratubah tengah mencucuki marjan.
Dari perjumpaan menyaksikan seorang perempuan campuran Bugis-Banjar di
rumah keluarga Arab itu, Sayid Ali akhirnya tinggal di Kampung Bugis
karena menikah dengan Ratubah. Untuk tempat tinggalnya Sayid Ali membeli
sebuah rumah kecil di Kampung Bugis (Jalan Sulawesi), membangunnya
kembali, dan menyulapnya menjadi rumah Baanjung (rumah adat Banjar).
Putra
Sayid Ali dengan Ratubah adalah Sayid Zein. SayidZein kawin dengan
Syarifah dari keluarga Bahasyim berputra Sayid Alwi [seorang pedagang
asam kamal yang berjualan dari Kuin Utara ke Aluh-aluh, Kabupaten Banjar
dan merupakan ayah dari Ibu Galuh (Syarifah Fatimah) di Kampung Melayu
dan Abdul Kadir Jailani di Sungai Mesa]
Perkawinan
Sayid Zein dengan perempuan dari bangsa Banakmah berputra Sayid Ali,
Syarifah Zainab, Syarifah Fetum (ibu Segaf bin Abubakar AlHabsyi),
Syarifah Noor dan Sayid Fedlon (masih hidup tinggal di Kampung Bugis ).
Jika
kita berkunjung ke Komplek Makan Sultan Suriansyah, di sana terdapat
makam Sayid Muhammad (atau Sayid Ahmad Idrus?) dan Khatib Dayyan. Nama
terakhir adalah tokoh yang dikirim Sultan Demak Tranggono untuk
mengislamkan Raden Samudera (kelak bernama menjadi Sultan Suriansyah)
dan rakyat Banjar pada tahun 1526 M. Khatib Dayyan yang menjabat
panotogomo (penghulu) ini mempunyai nama asli Abdurrahman. Ia merupakan
keturunan keluarga kesultanan Cirebon yang didirikan oleh Sunan Gunung
Jati. Menurut keterangan juru kunci makam, Sayid Muhammad adalah leluhur
dari Habib Abdurrahman Alhabsyi (Ketua Islamic Center Kwitang Jakarta
dan cucu Habib Ali Kwitang).
Satu lagi sosok yang
perlu penelitian adalah seorang figur bernama Datu Khayyan (bermakam di
Alalak Berangas). Ia diketahui mempunyai nama asli Sayid Abdurrahman
Sidik bin Sayid Husin Bin Syekh Abubakar bin Salim. Menurut cerita,
tokoh ini berasal dari Banten dan mengembara ke Kalimantan Barat.
Setelah cukup lama bermukim di Kalbar, Datu Khayyan kemudian meneruskan
perjalanan menelusuri sungai Kahayan dan Barito. Sempat berdiam di
Kotawaringan Barat, Datu Khayyan kemudian menetap dan menghabiskan masa
tuanya di Alalak Berangas, Kabupaten Batola. Datu Khayyan dikenal
sebagai pendakwah dan pejuang melawan Belanda di abad ke-18.
Di
generasi abad ke-20 terdapat nama Sayid Abdul Kadir Ba’bud, pimpinan
pasukan Tengkorak Putih pada tahun 1949. Belum lagi sejumlah seniman,
budayawan yang pernah memperkaya batin masyarakat dengan karya-karya
mereka.
Jejak jejak para Sayid yang menghilang
dan tenggelam sekian masa waktu kini mulai bangun seiring tumbuhnya
majelis-majelis ta’lim yang diasuh sejumlah keturunanan Sayid. Jika para
leluhur telah meninggalkan sesuatu yang bermakna dan kenangan di hati
umat, kita menanti generasi Sayid masa kini membuat sejarahnya.
Note:
- Dewan Pengadilan/Kehakiman di Banjarmasin dibentuk tahun 1863.
- Sayid Iderus bin Hasan AlHabsyi bermakam di Turbah, Kampung Sungai Jingah
- Pangeran Sjarif Husin bin Muhammad Baharun dulu tinggal di Kampung Melayu Banjarmasin. Makamnya hingga kini tidak diketahui tempatnya. Anak keturunan tokoh ini masih bisa yang tinggal di Kampung Melayu.
- Sambas kini merupakan sebuah kabupaten di provinsi Kalimantan Barat.
- Nur belakangan diambil sebagai nama mushala sederhana keluarga di wilayah Ujung Murung yang dibangun oleh Sayid Hasan. Karena jumlah jemaahnya berkembang, mushalla tersebut lalu berpindah ke wilayah Masjid Noor sekarang di antara pertemuan Jalan Samudera dan Simpang Sudimampir. Makam Nur terdapat di dalam mesjid ini. Rumah Hasan Kapten Arab pertama di tanah Banjar berada di lokasi bangunan Plaza Metro sekarang.
- Silsilah empat keluarga AlHabsyi ini (Muhammad, Abdullah, Syekh dan Hasan) bersambung ke Alwi bin Syekh bin Zen bin Ahmad bin Hasyim bin Ahmad bin Muhammad Ashgar bin Alwi bin Abubakar AlHabsyi.
- Hamid bin Abas bermakam di Basirih. Gampang mencapai makam Habib karena ada angkutan kota yang melayani rute Pasar Hanyar – Basirih.
- Syarifah Khadijah Bahasyim, cucu Habib Basirih.
- Makam Awad tak diketahui, namun ia mempunyai putra bernama Husin yang menurut seorang keluarga Bahasyim bermakam di Kompleks Makam Sultan Adam Martapura.
Label:Sejarah | 3
komentar
SEJARAH ZURIAT (Keturunan) SAYYIDINA MUHAMMAD SAW DI INDONESIA
17.49
| Diposting oleh
SaggafF
|
Pada 143 tahun silam seorang anggota keluarga AlHabsyi dan seorang
keluarga Baharun tercatat dalam sejarah menjadi orang-orang penting di
Dewan Pengadilan/Kehakiman-1 di Banjarmasin.
Mereka adalah wakil komunitas Arab yang terpilih duduk dalam lembaga
pemerintahan pusat bentukan penguasa Belanda, pasca penghapusan kerajaan
Banjar tahun 1860. Saat itu, Sajid Iderus bin Hasan AlHabsyi-2 dan
Pangeran Sjarif Husin bin Muhammad Baharun-3 merupakan dua tokoh
terkemuka dari kalangan warga masyarakat keturunan Arab.Sajid Iderus
AlHabsyi adalah orang Arab kelahiran Hadramaut yang masuk ke Banjarmasin
melalui Sambas-4. Di sana, Sajid Iderus berhasil menyunting seorang
perempuan bernama Nur-5, kerabat kesultanan Sambas dan mengajaknya
pindah ke Banjarmasin. Dari pernikahan mereka lahir Sajid Hasan, yang
kelak menjadi kapten Arab pertama. Sedang Pangeran Sjarif Husin, menurut
catatan Belanda, adalah pendatang dari keturunan Arab di Pekalongan,
yang juga menantu Sultan Adam (raja Banjar periode 1825-1857). Ia
menikah dengan salah satu putri Sultan Adam yang bernama Ratu
Aminah.Jejak-jejak sayyid di Tanah Banjar pernah semarak dengan
kedatangan keluarga Muhammad bin Alwi AlHabsyi langsung dari Hadramaut,
sekitar permulaan abad ke-20. Muhammad mempunyai 7 putra. Husin, putra
sulung, pernah singgah ke Banjar tapi kemudian balik lagi ke Hadramaut.
Abdillah putra kedua mendarat di Aceh dan selanjutnya bermukim hingga
akhir hayat di negeri serambi Mekkah itu. Putra Muhammad lainnya Ahmad
berdiam di Pal 1 (Jl. A. Yani Km 1), Zen dari Banjarmasin kemudian
memilih bertempat tinggal di Martapura (40 km dari ibukota Banjarmasin),
Ali menetap di Lawang (daerah perbatasan Malang-Pasuruan), Salim
(tinngal di sekitar Pasar Rambai, kampung Telawang Banjarmasin), serta
Umar juga di wilayah Pal 1. Muhammad bin Alwi yang sudah sepuh suatu
ketika menengok putra-putranya ke Banjarmasin. Karena sakit tua, ia
akhirnya berpulang ke rahmatullah di salah satu kediaman putranya di
Banjamasin dan dimakamkan di Turbah (pemakaman orang Arab) Kampung
Sungai Jingah. Muhammad mempunyai tiga saudara yakni Abdullah, Syekh dan
Hasan-6. Putra Abdullah yang bernama Alwi menjadi Kapten Arab kedua
menggantikan Sajid Hasan bin Iderus AlHabsyi. Tak lama memegang jabatan
itu, Alwi bin Abdullah AlHabsyi belakangan pindah mukim ke Barabai,
karena menikah dengan perempuan campuran Nagara-Banua Kupang bernama H.
Masrah. Hasan, tinggal di Martapura dan mempunyai putra bernama Ali
(Martapura). Sementara Syekh mempunyai putri bernama Fetum yang kemudian
kawin dengan Ahmad Pal 1.Sajid Iderus bin Hasan AlHabsyi, Pangeran
Sjarif Husin bin Muhammad Baharun dan empat keluarga AlHabsyi (Muhammad,
Abdullah, Syekh dan Hasan) sebenarnya bukan pendatang yang pertama di
tanah Banjar. Menengok kebelakang, keluarga Ba’bud, Assegaf, Alaydrus
dan Bahasyim tercatat lebih dulu menjejakkan kakinya di pulau Kalimantan
bagian tenggara ini. Seorang dari keluarga Assegaf bernama Alwi bin
Abdillah bin Saleh bin Abubakar (w.1842) dilaporkan melalui perjalanan
panjang dari Hadramaut-Turki-Palembang-Gresik sebelum menyinggahi
Banjarmasin dan sempat bermukim di Kampung Sungai Mesa. Alwi kemudian
menetap di Martapura (Kampung Melayu) dan mendapat hadiah tanah dari
Sultan Adam di daerah Karang Putih. Kelak ia dan anak cucunya bermakam
di tanah pemberian sultan tersebut (makam Karang Putih Jl Menteri Empat
Martapura). Dari keluarga Ba’bud tercatat nama Ahmad bin Abdurrahman
(wafat 1884 M) yang juga menjadi menantu Sultan Adam lewat
perkawinanannya dengan Putri Qamarul Zaman. Ahmad datang dari Pekalongan
dan bekerja di kerajaan Banjar sebagai guru agama. Ia mengajar mengaji
para pangeran dan kerbat dalam istana lainnya, di samping sebagai
penasihat pribadi sultan. Dari perkawinan tersebut Ahmad memiliki 3
putra yakni Muksin, Abdullah dan Muhammad.Jejak Alaydrus dikenal dari
Pangeran Syarif Ali yang mendirikan kerajaan kecil di Angsana-Sebamban
(Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel). Satu keterangan dari pihak keluarga,
menyebut bahwa Pangeran Syarif Ali sezaman dengan Pangeran Diponegoro.
Jika Diponegoro berjuang di Jawa, Pangeran Syarif Ali berjuang di
pedalaman Kalimantan. Pangeran Syarif Ali bin Abdurrahman adalah cucu
Sultan Kubu Idrus bin Abdurrahman. Idrus Sultan Kubu (w. 1795 M) adalah
paman dari Sajid Besar Abdurrahman Panotogomo yang mengabdi di Kraton
Yogyakarta pada zaman Hamengku Bowono I (1755-1792). Ali, ayah
Abdurrahman Panotogomo, adalah saudara Idrus Sultan Kubu.Salah satu
tokoh sayyid yang sangat popular adalah Hamid bin Abas-7. Ia dari
keluarga Bahasyim. Habib Basirih, demikian masyarakat menyebut sosok
Hamid bin Abas, merupakan sosok kharismatik yang tetap ramai diziarahi
masyarakat --baik sewaktu ia masih hidup maupun setelah ia meninggal
dunia. Keluarbiasaan jalan hidup Habib Basirih “berumah di atas pohon
kelapa” menjadi cerita sambung menyambung di tengah masyarakat. Leluhur
Hamid bin Abas yang bernama Awad diyakini sebagai Bahasyim “pertama”
(paling tua) di bumi Kalimantan (Banjar)-8. Awad bin Umar mempunyai
seorang saudara lelaki yang menetap dan menurunkan Bahasyim di Bima,
NTB. Menurut cerita, Awad masuk ke Banjar dari Sampit, (salah satu
kabupaten di Kalteng)-9. Buyut Awad adalah Abas (ayah Habib Basirih)
yang dikenal sebagai orang kaya yang memiliki tanah luas dan kapal
dagang. Orang Arab dikenal sebagai orang yang suka berpetualang
menjelajahi sepanjang lautan sebelum dan sesudah berkembangnya Islam.
(lihat Sejed Alwi bin Tahir Al-Haddad, Sejarah Perkembangan Islam di
Timur Jauh, terjemah Dzija Shahab, Almaktab-AlDaimi, 1957, hal 15).
Lihat pula buku kisah perjalanan ke dunia timur Al-Mas’udi,
Murujuzzahab. Kapan persisnya periode waktu kedatangan mereka ke
Nusantara, tiada keterangan yang cukup jelas. Beberapa penulis sejarah
Islam di Indonesia menyatakan para pedagang Arab kemungkinan pernah
menyinggahi Pelabuhan Sunda Kelapa yang berada dalam kekuasaan Kerajaan
Pajajaran. Di masanya, Sunda Kelapa merupakan jalur sutra yang
dikunjungi pedagang pelbagai penjuru (Lihat M. Dien Majid, Awal
Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII dalam
Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, kumpulan makalah, 1995).
Keterangan lain menyebutkan, kedatangan orang Arab di Indonesia makin
jelas setelah agama Islam lahir (abad VII M). Pada masa ini mereka
sedang mengemban dua tugas yaitu berniaga dan menyiarkan agama Islam.
(Lihat Ismail Yacob, Sejarah Islam di Indonesia, tanpa tahun, hal
14-15).Jauh sebelum Belanda datang pertama kali ke Nusantara (1596),
sudah ada orang Arab yang datang dari Hadramaut ke Jawa termasuk ke
Jakarta seperti kelompok Alaydrus dan kelompok Al-Bafaqih, berada di
kampung Jawa (sekarang berada dalam kelurahan Jatinegara, kecamatan
Cakung). Lihat RB Serjeant, The Saiyids of Haadramawt, School of
Oriental and African Studies, University of London, 1957, hal 25).
Selain itu, para Wali Sanga (pada zaman kerajaan Demak) datang dari Arab
ke Nusantara untuk keperluan dakwah menyebarkan Islam.
Leluhur Wali Sanga adalah Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shahib
Mirbath yang hijrah dari Hadramaut ke India. Buyut Abdul Malik bernama
Jamaludin Husin adalah datuk dari Syarif Hidayatullah (Sunang Gunung
Jati di Cirebon). Garis silsilah para wali lainnya seperti Maulana Malik
Ibrahim (Gresik), Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat
dan Sunan Bonang tersambung ke nama Jamaludin Husin. Sedangkan buyut
Abdul Malik lainnya (saudara Jamaludin Husin) yang bernama Ali Nurudin
merupakan leluhur Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Saat ini kebanyakan
keturunan wali sanga yang keturunan Nabi Muhammad saw, mereka menikah
dengan pribumi sehingga tidak terlihat berwajah arab.Ada juga yang
melahirkan kerajaan islam seperti kerajaan Cirebon oleh Sunan Gunung
Jati Sumber dari catatan keluarga Aidid menyebutkan, bahwa moyang mereka
yang bernama Jalaluddin Aidid --keturunan dari Muhammad Maula Aidid
(Muhammad bib Ali Shahib Al-Hauthoh/1334-1442 M)-- dari Aceh pernah
datang ke Banjar (Kalimantan Selatan) pada penghujung abad ke-16.
Jalaluddin adalah anak sayyid Muhammad Wahid (Aceh) dan Syarifah
Halisyah. Jalaluddin beristri Tamami putri Sultan Abdul Kadir Alaudin di
Banjar (di kerajaan Pagatan?). Istri Jalaluddin adalah kerabat kerajaan
Gowa Tallo. Karena mempunyai istri yang berasal dari keluarga kerajaan
tersebut, Jalaluddin datang ke Gowa Tallo. Sayang, di sana ulama keramat
yang merupakan keturunan ke-27 dari Rasulullah ini kurang dipedulikan.
Jalaludin kemudian pindah ke Cikoang (Kecamatan Marbo, Kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan, yang kini menjadi basis keluarga Aidid di
Makassar).Salah satu putranya yang bernama Jamaluddin Aidid balik ke
Banjar. Anak cucu keturunan Aidid hingga kini tersebar di Makassar,
Banjarmasin, Sungai Danau (Tanah Bumbu), Jakarta (di Tebet) dan Johor
(Malaysia). Keberadaan keluarga Aidid di Kabupaten Tanah Bumbu,
Kalimantan Selatan bukan sesuatu yang mustahil dari sisi lalu lintas
laut. Sebab, Tanah Bumbu, yang merupakan kabupaten baru hasil pemekaran
dari Kabupaten Kotabaru, terletak di pesisir pantai selatan provinsi
Kalsel dan berbatasan dengan Laut Sulawesi. Sebagian penduduk Kotabaru
selain terdiri dari suku Banjar juga berasal dari pendatang asal Suku
Bugis Makassar. Sebuah nama yang disebut terlibat dalam Perang Banjar
bersama-sama Pangeran Antasari, P Hidayatullah, Demang Leman dan H
Buyasin adakah Said Sambas. Said (Sayyid?) Sambas ketika meletus Perang
Banjar merupakan salah satu pimpinan penyerangan terhadap benteng
Pengaron, dan bergerilya di wilayah Riam Kanan, Riam Kiwa, Martapura dan
Rantau. Tidak diperoleh keterangan jelas tentang siapa sesungguhnya
sosok ini. Identikkah ia dengan Sajid Iderus bin Hassan bin Agil
AlHabsyi yang menurut keterangan juga datang dari Sambas bersama seorang
Arab bernama Nasar bin Yusuf Ganam ? Ataukah Said Sambas ini merupakan
pribadi dan sosok berbeda? Satu sosok bernama Sayyid Zen yang mengawini
cucu Sultan Sulaiman juga belum diketahui asal usulnya. Sayyid
diperkirakan lahir awal 1800-an. Syarif Umar putra hasil perkawinan
mereka gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Paringin (kini
Kabupaten Balangan, Kalsel) tahun 1860. Syarif Umar mempunyai seorang
putra bernama Syarif Abubakar. Syarif Abubakar dan putrinya Syarifah
Intan (4 tahun) ikut dalam rombongan Pangeran Hidayatullah yang
diasingkan Belanda Cianjur, 3 Maret 1862.Jejak jejak sayyid di wilayah
Hulu Sungai dapat ditemui di sebuah tempat bernama Lorong Said Alwi di
Kota Barabai. Alwi Kapten Arab kerap menaiki kereta kuda dari Barabai ke
Pantai Hambawang. Di sana ia turun, beristirahat dan kemudian berganti
kuda dengan penduduk setempat untuk menuju sebuah pangkalan perahu
menjemput kerabat-kerabatnya sejumlah Habib asal Nagara. Alwi berjasa
mengembangkan penanaman karet di wilayah Hulu Sungai. Sewaktu Soekarno
ke Barabai ia berjumpa dengan tokoh ini. Sebelum kedatangan Said Alwi di
Barabai, lebih dulu bermukim di wilayah Hulu Sungai ini seorang bernama
Muhdhor bin Salim bin Agil bin Ahmad BSA (Keramat Manjang). Muhdhor
datang langsung dari Tarim (Hadramaut) ke Barabai. Pada suatu ketika
Muhdhor berkunjung ke Martapurta menemui kerabatnya Abubakar AlHabsyi.
Mereka sama-sama berasal dari Tarim. Oleh Habib Abubakar, Habib Muhdhor
akhirnya diambil sebagai menantu. Muhdhor kawin dengan Syarifah Noor
binti Abubakar bin Husin bin Ahmad bin Abdullah bin Ali AlHabsyi. Ayah
Abubakar yang bernama Husin AlHabsyi semula tinggal di Ma’la (Mekah)
pindah ke Tarim. Dari Tarim Abubakar datang ke Martapura dan kemudian
menikah dengan Syarifah Muzenah binti Alwi bin Abdillah Assegaf (Kampung
Melayu, Martapura). Alwi Assegaf, yang merupakan mertua Abubakar
AlHabsyi, menurut catatan yang diperoleh penulis merupakan salah satu
pendatang Hadramaut paling awal datang ke Martapura.Ali putra Alwi
memiliki cerita khusus tentang perkawinannya. Adalah seorang perempuan
Bugis yang asalnya merupakan pelarian dari kerajaan Bone tinggal di
Kampung Bugis di Banjarmasin. Perempuan yang tidak diketahui namanya ini
kawin dengan seorang lelaki bernama Dapat (Sudapat). Dapat berasal dari
Kampung Kalampayan yang masih terhitiung cucu dari Datu Kalampayan
Syekh Muhammad Arsyad. Perkawinan Dapat dengan perempuan Bugis
melahirkan perempuan bernama Ratubah. Ratubah dipelihara oleh keluarga
Arab dari marga Alkatiri di Kampong Arab Banjarmasin (sekarang Jalan
Antasan Kecil Barat). Suatu ketika Ali bin Alwi Assegaf dari Kampung
Melayu Martapura mampir ke rumah keluarga Alklatiri tersebut. Saat
bersamaan, di rumah keluarga Arab itu, Ratubah tengah mencucuki marjan.
Dari perjumpaan menyaksikan seorang perempuan campuran Bugis-Banjar di
rumah keluarga Arab itu, Ali akhirnya tinggal di Kampung Bugis karena
menikah dengan Ratubah. Untuk tempat tinggalnya Ali membeli sebuah rumah
kecil di Kampung Bugis (Jalan Sulawesi), membangunnya kembali, dan
menyulapnya menjadi rumah Baanjung (rumah adat Banjar).Putra Ali dengan
Ratubah adalah Zen. Zen kawin dengan Syarifah dari keluarga Bahasyim
berputra Alwi [seorang pedagang asam kamal yang berjualan dari Kuin
Utara ke Aluh-aluh, Kabupaten Banjar dan merupakan ayah dari Ibu Galuh
(Syarifah Fatimah) di Kampung Melayu dan Abdul Kadir Jailani di Sungai
Mesa] Perkawinan Zen dengan perempuan dari bangsa Banakmah berputra Ali,
Sy Zainab, Sy Fetum (ibu Segaf bin Abubakar AlHabsyi), Sy Noor dan Sy
Fedlon (masih hidup tinggal di Kampung Bugis ).Jika kita berkunjung ke
Komplek Makan Sultan Suriansyah, di sana terdapat makam Sayid Muhammad
(atau Sayyid Ahmad Idrus?) dan Khatib Dayyan. Nama terakhir adalah tokoh
yang dikirim Sultan Demak Tranggono untuk mengislamkan Raden Samudera
(kelak bernama menjadi Sultan Suriansyah) dan rakyat Banjar pada tahun
1526 M. Khatib Dayyan yang menjabat panotogomo (penghulu) ini mempunyai
nama asli Abdurrahman. Ia merupakan keturunan keluarga kesultanan
Cirebon yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Menurut keterangan juru
kunci makam, Sayyid Muhammad adalah leluhur dari Habib Abdurrahman
Alhabsyi (Ketua Islamic Center Kwitang Jakarta dan cucu Habib Ali
Kwitang).Satu lagi sosok yang perlu penelitian adalah seorang figur
bernama Datu Khayyan (bermakam di Alalak Berangas). Ia diketahui
mempunyai nama asli Abdurrahman Sidik bin Said Husin Bin Syekh Abubakar
bin Salim. Menurut cerita, tokoh ini berasal dari Banten dan mengembara
ke Kalimantan Barat. Setelah cukup lama bermukim di Kalbar, Datu Khayyan
kemudian meneruskan perjalanan menelusuri sungai Kahayan dan Barito.
Sempat berdiam di Kotawaringan Barat, Datu Khayyan kemudian menetap dan
menghabiskan masa tuanya di Alalak Berangas, Kabupaten Batola. Datu
Khayyan dikenal sebagai pendakwah dan pejuang melawan Belanda di abad
ke-18. Di generasi abad ke-20 terdapat nama Abdul Kadir Ba’bud, pimpinan
pasukan Tengkorak Putih pada tahun 1949. Belum lagi sejumlah seniman,
budayawan yang pernah memperkaya batin masyarakat dengan karya-karya
mereka.Jejak jejak para sayyid yang menghilang dan tenggelam sekian masa
waktu kini mulai bangun seiring tumbuhnya majelis-majelis ta’lim yang
diasuh sejumlah keturunanan sayyid. Jika para leluhur telah meninggalkan
sesuatu yang bermakna dan kenangan di hati umat, kita menanti generasi
sayyid masa kini membuat sejarahnya.Note:1. Dewan Pengadilan/Kehakiman
di Banjarmasin dibentuk tahun 1863. 2. Sajid Iderus bin Hasan AlHabsyi
bermakam di Turbah, Kampung Sungai Jingah3. Pangeran Sjarif Husin bin
Muhammad Baharun dulu tinggal di Kampung Melayu Banjarmasin. Makamnya
hingga kini tidak diketahui tempatnya. Anak keturunan tokoh ini masih
bisa yang tinggal di Kampung Melayu.4. Sambas kini merupakan sebuah
kabupaten di provinsi Kalimantan Barat. 5. Nur belakangan diambil
sebagai nama mushala sederhana keluarga di wilayah Ujung Murung yang
dibangun oleh Sajid Hasan. Karena jumlah jemaahnya berkembang, mushalla
tersebut lalu berpindah ke wilayah Masjid Noor sekarang di antara
pertemuan Jalan Samudera dan Simpang Sudimampir. Makam Nur terdapat di
dalam mesjid ini. Rumah Hasan Kapten Arab pertama di tanah Banjar berada
di lokasi bangunan Plaza Metro sekarang. 6. Silsilah empat keluarga
AlHabsyi ini (Muhammad, Abdullah, Syekh dan Hasan) bersambung ke Alwi
bin Syekh bin Zen bin Ahmad bin Hasyim bin Ahmad bin Muhammad Ashgar bin
Alwi bin Abubakar AlHabsyi.7. Hamid bin Abas bermakam di Basirih.
Gampang mencapai makam Habib karena ada angkutan kota yang melayani rute
Pasar Hanyar – Basirih. 8. Syarifah Khadijah Bahasyim, cucu Habib
Basirih. 9. Makam Awad tak diketahui, namun ia mempunyai putra bernama
Husin yang menurut seorang keluarga Bahasyim bermakam di Kompleks Makam
Sultan Adam Martapura.
KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW DI NUSANTARA
Kata ‘Nusantara’, berasal dari kata-kata Mahapatih Kerajaan Majapahit,
Gajah Mada, dalam sumpahnya yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Bahwa
dia tidak akan menikmati kesenangan dunia sebelum seluruh nusantara
bersatu. Gajah Mada sendiri adalah sosok yang misterius, tidak diketahui
dari mana asal-usulnya, kemudian tampil menjadi orang yang paling
berpengaruh dari zaman ke zaman dengan konsep Nusantara-nya dan kemudian
menghilang entah ke mana.
Wilayah Nusantara mengacu kepada kepada kawasan kepulauan Asia Tenggara,
yang saat ini berada dalam wilayah negara Indonesia, Malaysia dan
sekitarnya. Menurut pembagian kawasan dunia, wilayah ini terletak paling
timur dalam peta dunia. Orang Eropa menyebut wilayah ini Timur Jauh.
Pada abad-abad penjajahan bangsa Eropa, Nusantara biasa disebut Hindia
Timur (East Indies). Begitu juga dengan orang Arab dan Timur Tengah,
bila dikatakan ‘Timur’ maka dalam maksud lokal bisa bermaksud kawasan di
sebelah timur Hijaz (kawasan Mekah dan Madinah), tapi dalam maksud yang
lain berarti wilayah di arah timur di luar Jazirah Arab dan Teluk
Persia: Nusantara.
Wilayah ini didiami oleh rumpun bangsa Melayu (Jawi). Saat ini terdapat
sekitar setengah milyar penduduk mendiami wilayah ini. Dengan 300 juta
orang diantaranya beragama Islam, menjadikan rumpun bangsa Melayu adalah
bangsa Muslim terbesar di dunia. Bahkan lebih besar dibandingkan
seluruh bangsa Arab yang merupakan menjadi bangsa Muslim pertama. Suatu
fenomena yang tidak dijumpai pada bangsa manapun di dunia.
Sejarah keislaman Nusantara dan Bangsa Melayu bermula sangat awal
sekali. Telah ditemukan beberapa makam Sahabat Nabi Muhammad SAW di
Nusantara. Salah satu yang paling terkenal adalah makam Syeikh
Rukunuddin di Barus (Fansur), Sumatera Utara. Pada makamnya tertulis
bahwa beliau wafat pada tahun 48 H. Tidak diketahui siapa nama Syeikh
Rukunuddin sebenarnya, tapi dari tanggal wafatnya kita bisa mengatakan
bahwa kemungkinan beliau adalah salah sorang sahabat Nabi Muhammad SAW,
yaitu orang yang hidup sezaman dan berjumpa dengan beliau. Para sahabat
dan tabiin telah memulai gelombang awal sejarah Islam di Bumi Nusantara.
Pada periode berikutnya, Islam semakin deras mengalir khususnya ke Pulau
Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Kamboja (Campa). Sekitar abad
ke 13 M, banyak cabang-cabang keluarga keturunan Nabi Muhammad SAW
(Ahlul Bait) mulai meninggalkan Hadramaut (Yaman) di wilayah selatan
Jazirah Arab, terutama setelah serbuan Bangsa Mongol ke Baghdad.
Tersebutlah Sayyid Ahmad Jalal Syah yang menjadi gubernur di India
Barat. Salah seorang puteranya yang bernama Sayyid Jamaluddin Al Hussein
berpindah ke Campa dan kemudian lebih terkenal dengan nama Syeikh
Jumadil Kubra.
Seorang putera Syeikh Jumadil Kubra yang bernama Sayyid Ali Nurul Alam
mengasaskan berbagai kesultanan di Campa, Semenanjung Malaya, Pattani
(Thailand Selatan), Sumatera, Kalimantan dan Brunei (Borneo) serta di
kawasan Filipina. Tercatat raja pertama dinasti Islam Campa adalah anak
dari Sayyid Ali Nurul Alam, yaitu Raja Wan Bo (Sayid Abdullah ibn Ali
Nurul Alam).
Puteranya yang lain adalah Syeikh Ibrahim Al Akbar As Samarkand (Sunan
Maulana Malik Ibrahim/ Sunan Maghribi/ Syeikh Asmarakandi). Inilah cikal
bakal Wali Songo di tanah Jawa. Dari keluarga Syeikh Asmarakandi lahir
Sunan Ampel, Sunan Drajad dan Jaka Tarub yang keturunannya menjadi
ulama-ulama dan raja-raja Jawa (Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, Banten
dst). Keluarga Ahlul Bait ini kemudian dengan cepat membaur dan segera
mencorak Nusantara dengan Islam.
Pada waktu itu keluarga ini datang ke Jawa Timur, pusat pemerintahan
Majapahit, kerajaan yang mengalami kemunduruan setelah sebelumnya
menjadi pemimpin Nusantara. Kehadiran Sunan Ampel diterima dengan baik
oleh penguasa Majapahit saat itu. Walaupun Majapahit masih tetat
kerajaan Hindu tapi tidak sedikit warganya yang telah memeluk Islam.
Bahkan akhirnya Raja Majapahit, Brawijaya V (Bhre Kertabumi) kemudian
memeluk Islam. Anak-anaknya dididik langsung oleh Sunan Ampel. Salah
satunya adalah Raden Patah (Fatah) yang kemudian menjadi menantu Sunan
Ampel dan selanjutnya mengasaskan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa:
Kesultanan Demak. Raden Patah menjadi raja Demak dengan gelar Sultan
Alam Akbar Al Fatah.
Hampir bersamaan dengan itu, salah seorang ahlul bait keturunan ke-31
dari Sayidina Hussain (cucu Nabi Muhammad SAW) yang lahir dan dibesarkan
di daratan Cina, mengadakan ekpedisi pelayaran ke berbagai tempat di
dunia, dan secara satah satunya khusus datang ke Nusantara dengan
puluhan kapal bersama hampir 30.000 orang anggota armadanya. Inilah satu
ekpedisi pelayaran terbesar dalam sejarah. Dia bernama Zheng He, dan
lebih terkenal dengan nama Laksamana Ceng Ho. ‘Show force’ Laksamana
Ceng Ho dengan armadanya yang luar biasa besar namun membawa misi
perdamaian, membantu menstabilkan kondisi politik kerajaan-kerajaan di
Nusantara setelah memudarnya kejayaan Majapahit pasca Gajah Mada dan
juga membantu memperkenalkan Islam sebagai agama yang damai dan
universal. Dengan demikian perkembangan Islam menjadi semakin pesat dan
berwibawa.
Maka kemudian datang gelombang Ahlul Bait pada abad ke-18 M. Hal ini
juga didorong oleh terjadinya serangan di Hijaz oleh Muhammad ibn Saud
(Bani Saud) dan Muhammad ibn Abdul Wahhab yang di kemudian hari lebih
banyak disebut sebagai gerakan Wahabi (Wahhabism). Serangan ini didukung
oleh Inggris yang berkepentingan untuk menjatuhkan Turki Utsmani dan
kemudian memicu konflik antara Turki Utsmani dan dinasti Saud
(Ottoman-Saudi War) setelah sebelumnya mengakibatkan terusirnya kalangan
Ahlul Bait dari Hijaz. Sebagian ada yang berpindah ke utara dan
mendirikan kerajaan Bani Hasyim/Al Hasyimi di Yordania (The Hashemite
Kingdom of Jordan) dan sebagian bergerak ke timur menuju Nusantara.
Berbeda dengan para pendahulunya yang telah berbaur dengan ras Melayu,
mereka yang datang pada periode ini lebih mudah dikenali secara fisik
sebagai sebagai keturunan Arab. Dan umumnya mereka juga mengekalkan
marga-marga ahlul bait hingga ke saat ini. Juga lazim dikenal sebagai
panggilan Sayyid, Syarif, Habib, Wan, Tok, Tengku dan lain sebagainya.
Inilah salah satu keajaiban bangsa Melayu, darah Rasul telah mengalir
dalam darah mereka dan mengalirkan keberkahan tersendiri. Rupanya
orang-orang muslim terdahulu, khususnya dari kalangan Ahlul Bait
terdahulu dengan sangat serius dan terarah menyiarkan dakwahnya ke Bumi
Nusantara. Menjadikan bangsa Melayu menjadi bagian dari keluarga besar
Nabi Muhammad SAW, seolah-olah Bumi Nusantara di Timur ini adalah tanah
air kedua bagi Islam dan keluarga yang mulia ini. Terlebih setelah
mereka terusir dari tanah airnya sendiri. Bahkan ada sumber sejarah yang
mengatakan bahwa Mahapatih Gajah Mada, ‘pendiri’ Nusantara yang
misterius itu, tidak lain adalah salah seorang muslim dari kalangan
Ahlul Bait. Wallahu ‘alam.
“Kami Ahlul Bait telah Allah pilih untuk kami akhirat lebih daripada
dunia. Kaum kerabatku akan menerima bencana dan penyingkiran selepasku
kelak hingga datanglah Panji-panji Hitam dari Timur. Mereka meminta
kebaikan tetapi tidak diberikan. Maka mereka pun berjuang dan memperoleh
kejayaan. Siapa di antara kamu atau keturunanmu yang hidup pada masa
itu, datangilah Imam dari ahli keluargaku itu walaupun terpaksa
merangkak di atas salju. Sesungguhnya, mereka adalah pembawa Panji-panji
Al Mahdi. Mereka akan menyerahkannya kepada seorang lelaki dari ahli
keluargaku yang namanya seperti namaku, dan nama ayahnya seperti nama
ayahku. Dia akan memenuhi dunia ini dengan keadilan dan kesaksamaan..”
(H.R. Abu Daud, At-Tarmizi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, Abus
Syeikh, Ibnu Adi, Abu Dhabi, Ibnu Asakir & Abu Nuaim)
Abu Salam Jumad gelar SUSUHUNAN ATAS ANGIN, bin Makhdum Kubra bin Jumad
al-Kubra bin Abdallah bin Tajaddin bin Sinanaddin bin Hasanaddin bin
Hasan bin Samaim Bin Nadmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zaid
Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin
Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain
al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
Na’im gelar SUSUHUNAN WALI ALLAH, bin Abdul-Malik Asafrani bin Husain
Asfarani bin Muhammad Asfarani bin Abibakar Asfarani bin Ahmad bin
Ibrahim Asfarani bin Tuskara, imam Yamen, bin Askar bin Hasan bin
Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Jasmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra
bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain
al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zaid al-Alim bin Ali
Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN TEMBAJAT bin Muhammad Mawla al-Islam bin Ishaq gelar WALI
LANANG DARI BALAMBANGAN, bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin
Jamad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahnul al-Kabir bin Abdurrahman
bin Abdullah al-Baghdad bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin
al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir
al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Wahid Zain
al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani
bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN GIRI bin Islam gelar WALI LANANG DARI BELAMBANGAN, bin Abu
Ahmad Ishaq dari Malaka bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra
bin Mahmud al-Kabir bin Abudrahman bin Abdullah al-Baghdad bin Askar
bin Hasan bin Sama-un bin Najmadin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin
Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain
bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim
bin Zali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
Hasanuddin gelar PANGERAN SABAKINKING bin Ibrahim gelar SUSUHUNAN GUNUNG
JATI bin Ya’qub gelar Sutomo Rojo bin Abu Ahmad Ishaq dari Malaka bin
Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin
Abdurrahman bin Abdallah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin
Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid
Zain al-Kabir al-Madani al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali
Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
KIAHI AGENG LURUNG TENGAH bin Syihabuddin bin Nuradin Ali bin Ahmad
al-Kubra al-Madani bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin
Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin
Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain
al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin
Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim bin
Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN DRAJAT bin SUSUHUNAN AMPEL bin Abu Ali Ibrahim Asmoro
al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud
al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdallah al-Baghadadi bin Askar bin Hasan
bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin al-Husain
bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain al-Alim
bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin Al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN BONANG bin SUSUHUNAN AMPEL bin Abu Ali Ibrahim Asmoro
al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin Mahmud al-Kubra bin Mahmud
al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin Hasan
bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin Zain
al-Kubra bin Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain bin Zain
al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali
Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN KALINYAMAT bin Haji Usman bin Ali gelar RAJA PENDETA GERSIK,
bin Abu Ali Ibrahim Asmoro al-Jaddawi bin Hamid bin Jumad al-Kabir bin
Mahmud al-Kubra bin Abdurrahman bin Abdullah al-Baghdadi bin Askar bin
Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin al-Kabir bin
Zainal-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar Zain al-Husain
bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin Walid Zain
al-Alimbin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali
k.w.
Ibrahim gelar SUSUHUNAN PUGER bin askhian bin Malik bin Ja’far al-Sadiq
bin Hamdan al-Kubra bin Mahmud al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdallah
al-Baghdadi bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin
Najmaddin al-Kabir bin Zain al-Kubra bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani
bin Umar Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al
Makki bin Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin
al-Husain bin al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN PAKALA NANGKA dari Banten bin Makhdum Jati, Pangeran Banten,
bin Abrar bin Ahmad Jumad al-Kubra bin Abid al-Kubra bin Wahid al-Kubra
bin Muzakir Zain al-Kubra bin Ali Zain al-Kubra bin Muhammad Zain
al-Kabir bin Muhammad al-Kabir bin Abdurrahman bin Abdallah al-Baghdadi
bin Askar bin Hasan bin Sama-un bin Najmaddin al-Kubra bin Najmaddin
al-Kabir bin Zain al-husain bin Zaid Zain al-Kabir al-Madani bin Umar
Zain al-Husain bin Zain al-Hakim bin Walid Zain al-Alim al-Makki bin
Walid Zain al-Alim bin Ali Zain al-Abidin al-Madani bin al-Husain bin
al-Imam Ali k.w.
SUSUHUNAN KUDUS bin SUSUHUNAN NGUDUNG bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan
bin Askar bin Muhammad bin Husain bin Askib bin Muhammad Wahid bin Hasan
bin Asir bin Al bin Ahmad bin Mosrir bin Jazar bin Musa bin Hajr bin
Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin al-Madani
bin al-Husein bin al-Imam Ali k.w.SUSUHUNAN GESENG bin Husain bin
Al-Wahdi,etc. lihat diatas.SUSUHUNAN PAKUAN bin al-Ghaibi bin
al-Wahdi,etc. lihat diatas.
SUSUHUNAN KALIJOGO bin TUMENGGUNG WILO TIRTO, Gubernur Jepara, bin ARIO
TEJO KUSUMO, Gubernur Tuban, bin Ario Nembi bin Lembu Suro, Gubernur
Surabaya, bin Tejo Laku, Gubernur Majapahit, bin Abdurrahman gelar ARIO
TEJO Gubernur Tuban, bin Khurames bin Abdallah bin Abbas bin Abdallah
bin Ahmad bin Jamal bin Hasanuddin bin Arifin bin Ma’ruf bin Abdallah
bin Mubarak bin Kharmis bin Abdallah bin Muzakir bin Wakhis bin Abdallah
Azhar bin ABBAS r.a. bin Abdulmuttalib.
Sumber : fakhrur94.blogspot.co.id
Label:Sejarah | 0
komentar
Langganan:
Postingan
(Atom)
Cari di blog ini
Entri menarik...
-
Tutorial kali ini intinya sama yaitu menjelaskan langkah-langkah instalasi Windows XP, Windows 7 dan Hiren's Boot CD dari USB Flashdisk...
-
Sumber dari catatan keluarga Aidid menyebutkan, bahwa moyang mereka yang bernama Sayid Jalaluddin Aidid --keturunan dari Sayid Muhammad...
Blogroll
Archive
Kriteria
- 17 Habaib berpengaruh di Indonesia (3)
- Ilmu komputer (6)
- Sejarah (16)
- Softwares (1)
- Tips dan Trik (4)
Rekanan...
Waktu Indonesia Tengah
Diberdayakan oleh Blogger.